Wednesday, June 04, 2008

Becak Sinetron

Penampilan si tukang becak ”sinetron” ini seperti penampilan tukang becak pada umumnya. Gak ada yang tampak aneh. Keanehan baru terasa beberapa menit setelah penumpang naek. Dia akan mengumbar cerita sedih bak skenario sinetron.

Ceritanya, bapak ini berasal dari pelosok desa nun jauh di wilayah Cianjur sana (kalo gak salah denger), yang kalo ditempuh dengan jalan kaki memakan waktu sebulan (plus kaki gempor kali ya). Di sana enggak ada listrik. Bener-bener ndeso deh. Ibunya dalam kondisi sakit di kampung. Sementara dia adalah anak tunnggal. Dia narik becak di Bandung dengan harapan dapet uang untuk membawa ibunya berobat. Niat yang mulia bukan?

Namun, tak disangka-sangka, ibunya meninggal dunia, beberapa jam sebelum dia membawa penumpangnya. Kira-kira begini, kalo penumpang naek becaknya jam 9 pagi, dia akan bilang ibunya meninggal jam 5 pagi. Dia mengaku mendapat kabar ini dari tetangganya yang nyusulin dia ke Bandung. Tapi, dia gak bisa pulang karena gak ada ongkos.

Entah apa yang ada di pikiran dia. Yang jelas dia memilih gak pulang dan tetap narik becak. Dia akan bilang ke penumpangnya bahwa hari itu dia belum dapet satu pun penumpang. Sementara jenazah si ibu di kampung masih telantar karena gak ada uang untuk membeli kain mori. Makanya, dia akan bilang kalo dia cuma bisa nangis aja. Ngakunya sih sampe lima kali nangis.

Kalo saja hanya sekali mendengar cerita ini, mungkin kita turut prihatin dengan apa yang dialami bapak tukang becak ini. Sungguh malang nasibnya. Tapi, kalo dua kali kita mendengar cerita yang sama (kalopun ada improvisasi, hanya 10-15 persen), dari orang yang sama, apa kita tetep bisa bersimpati?

Cerita dengan latar belakang waktu dan tempat yang gak bisa aku sebutkan secara detail ini aku alami sendiri dua kali dalam rentang waktu lebih kurang tiga bulan. Tokoh tukang becak dimainkan oleh orang yang sama. Aku yakin betul. Di kasus pertama aku dah gak percaya dengan cerita nggombal si bapak. Bukannya berprasangka buruk, tapi feeling-ku agak tajam untuk hal-hal yang gak bener kek gini.

Di kasus kedua, terbukti kalo aku enggak berprasangka buruk dan si bapak memang mengumbar cerita bohong. Buktinya, dia menceritakan hal yang sama. Beberapa bulan lalu diceritakan ibunya meninggal, masa meninggal lagi? Di kali keduanya dia tetep nyebutin ibu loh, bukan ibu mertua, ibu tiri, atopun ibu angkat.

Maka dari itu, pas turun, aku bilang ke si bapak kalo aku pernah numpang becaknya beberapa waktu lalu dan mendengar cerita yang sama. Aku mau tau aja reaksinya. Meski sedikit kaget, dia sok berlagak pilon gitu. Dia bilang baru hari itu aja narik becak. Pake bilang ”demi Allah” segala. Trus dia berusaha meyakinkan aku dengan berniat menunjukkan KTP. Aku bilang gak usah, karena aku memang gak merasa perlu untuk itu. Toh, aku gak menderita kerugian apa-apa akibat ulahnya. Kalopun ada, ya sedikit kerugian psikologis karena udah dengar cerita gak bener. Aku pun segera meninggalkan dia.

Beratnya beban hidup memang bisa membuat orang berbuat apa saja. Semoga bapak itu diberi kemudahan dalam hidupnya biar gak perlu lagi mengumbar cerita-cerita sinetron. Atau, ada production house yang membutuhkan penulis skenario? Bisa hubungi dia loh :)
Cerita tentang Thiwul

Masih ngomongin Gunungkidul, rasanya kurang lengkap tanpa nyebut thiwul. Makanan dari tepung gaplek (singkong yang udah dikeringin) ini di telinga sebagian orang mungkin identik dengan kemiskinan. Bagiku, itu bagian dari sejarah. Karena meskipun aku gak pernah makan thiwul sebagai makanan pokok, orangtuaku masih mengenyam pengalaman itu. Jadi, kalo sedang mengajakku mensyukuri apa yang ada sekarang, mereka kadang membawa serta topik perthiwulan ini.

Sekarang emang thiwul gak lagi jadi makanan pokok di kampung halamanku. Kalo dulu orang masih sering menyisakan gaplek-nya untuk dibikin thiwul, sekarang gak lagi. Gaplek sekarang dah jadi makanan ternak aja. Jadi, kalo sekarang orang makan thiwul, meminjam istilah bapak, itu cuma ngrusuhi bagiannya kambing ma sapi :D

Thiwul sekarang sekadar makanan klangenan. Ia dinikmati ketika orang kangen. Dan, kita gak perlu repot-repot bikin sendiri karena di pasar ada yang jual. Cukup dengan seribu rupiah, perut dah penuh tertimbun thiwul deh.
Di Wonosari, ada kios oleh-oleh yang memasang produk utama gathot dan tiwul. Di sini keduanya udah mengalami sedikit modifikasi sehingga makanan itu bisa awet beberapa hari (tapi kalo mo disajikan perlu dikukus dulu). Iseng aku bawa oleh-oleh thiwul dan gathot buat keluarga ibu kos dan temen-temen kantor di Bandung. Oya, sekadar info, gathot itu sodara sepupu thiwul. Masih dari bahan dasar yang sama, tapi beda penampakan. Gathot berasal dari gaplek juga, tapi gak sampe dibikin tepung. Cukup dipotong-potong dan diolah sedemikian rupa. Bedanya, gaplek yang digunakan justru yang item-item alias jamuran. Tapi gak beracun kok :P

Kembali ke oleh-oleh tadi. Ibu kos menyambut dengan antusias secara belio orang Jogja dan berasal dari generasi yang aku yakin mengenal thiwul. Sambutan di kantor sendiri cukup beragam. Tanpa bermaksud mengotak-ngotakkan kedaerahan, temen-temen dari Jawa menyambut cukup baik. Sedangkan temen dari luar Jawa, ada yang doyan, ada yang basa-basi doang. Dari kedua jenis makanan itu, yang cukup diminati cuma thiwul. Gathot, yang emang kurang familiar, ditambah dengan penampakan yang jauh dari menarik, sepi peminat.

Aku emang gak mengharapkan sambutan gegap gempita atas makanan tradisional yang menjadi ikon daerahku ini. Aku cuma ingin ngasih kesempatan bagi temen-temen untuk melihat wujud nyata makanan yang mungkin selama ini hanya pernah mereka denger itu. Untuk selanjutnya, aku akan bawa oleh-oleh yang pasti laris manis aja lah…Hehehe….