Apa Hubungan antara Susu dan Jilbab?
Judul posting-ku kali ini ngaco ya? Emang sih, tapi itulah yang kupikirkan saat di supermarket tadi melihat kemasan susu yang memajang foto wanita berjilbab. Ada embel-embel “Soleha” pula. Varian baru apa lagi nih? Kalo minum susu ini bisa jadi alim kali ya?
Apa yang membuat produsen susu ini memutuskan bikin susu khusus untuk jilbaber ya?
Apa bedanya jilbaber sama orang kebanyakan dalam hal minum susu, sampe-sampe perlu dibuatin produk khusus? Penasaran, aku buka leaflet kecil yang tertempel di kemasan.
Kebaca nggak ya kalimat-kalimat di samping? Hmm, jadi, wanita berjilbab dengan pakaian serba tertutup disinyalir kurang mendapat sinar matahari. Nah, guna memenuhi kebutuhan akan vitamin D, dibuatlah susu ini.
Apa iya cuma jilbaber yang kurang terpapar sinar matahari? Bukannya wanita (dan pria) bekerja di Jakarta, misalnya—yang berangkat pagi pulang sore—juga gak pernah ketemu sinar matahari? Meski gak pake jilbab, sama gak dapet mataharinya kan? Alih-alih (apa sih kata lain dari “alih-alih”) susu untuk wanita berjilbab, kenapa si produsen gak mengusung konsep susu tinggi vitamin D bagi orang yang gak pernah kesinaran matahari?
Ah, whatever deh. Yang jelas, aku tertarik beli susu aneh ini. Selain karena pake jilbab, sehari-harinya emang bisa dibilang aku jarang terpapar sinar matahari. Aku gak berharap banyak dari minum susu ini, apalagi ngarep kecerdasan spiritualku meningkat. Eh, tapi siapa tahu? :P
Judul posting-ku kali ini ngaco ya? Emang sih, tapi itulah yang kupikirkan saat di supermarket tadi melihat kemasan susu yang memajang foto wanita berjilbab. Ada embel-embel “Soleha” pula. Varian baru apa lagi nih? Kalo minum susu ini bisa jadi alim kali ya?
Apa yang membuat produsen susu ini memutuskan bikin susu khusus untuk jilbaber ya?
Apa bedanya jilbaber sama orang kebanyakan dalam hal minum susu, sampe-sampe perlu dibuatin produk khusus? Penasaran, aku buka leaflet kecil yang tertempel di kemasan.
Kebaca nggak ya kalimat-kalimat di samping? Hmm, jadi, wanita berjilbab dengan pakaian serba tertutup disinyalir kurang mendapat sinar matahari. Nah, guna memenuhi kebutuhan akan vitamin D, dibuatlah susu ini.
Apa iya cuma jilbaber yang kurang terpapar sinar matahari? Bukannya wanita (dan pria) bekerja di Jakarta, misalnya—yang berangkat pagi pulang sore—juga gak pernah ketemu sinar matahari? Meski gak pake jilbab, sama gak dapet mataharinya kan? Alih-alih (apa sih kata lain dari “alih-alih”) susu untuk wanita berjilbab, kenapa si produsen gak mengusung konsep susu tinggi vitamin D bagi orang yang gak pernah kesinaran matahari?
Ah, whatever deh. Yang jelas, aku tertarik beli susu aneh ini. Selain karena pake jilbab, sehari-harinya emang bisa dibilang aku jarang terpapar sinar matahari. Aku gak berharap banyak dari minum susu ini, apalagi ngarep kecerdasan spiritualku meningkat. Eh, tapi siapa tahu? :P