Monday, November 26, 2007

Apa Hubungan antara Susu dan Jilbab?

Judul posting-ku kali ini ngaco ya? Emang sih, tapi itulah yang kupikirkan saat di supermarket tadi melihat kemasan susu yang memajang foto wanita berjilbab. Ada embel-embel “Soleha” pula. Varian baru apa lagi nih? Kalo minum susu ini bisa jadi alim kali ya?

Apa yang membuat produsen susu ini memutuskan bikin susu khusus untuk jilbaber ya?
Apa bedanya jilbaber sama orang kebanyakan dalam hal minum susu, sampe-sampe perlu dibuatin produk khusus? Penasaran, aku buka leaflet kecil yang tertempel di kemasan.

Kebaca nggak ya kalimat-kalimat di samping? Hmm, jadi, wanita berjilbab dengan pakaian serba tertutup disinyalir kurang mendapat sinar matahari. Nah, guna memenuhi kebutuhan akan vitamin D, dibuatlah susu ini.

Apa iya cuma jilbaber yang kurang terpapar sinar matahari? Bukannya wanita (dan pria) bekerja di Jakarta, misalnya—yang berangkat pagi pulang sore—juga gak pernah ketemu sinar matahari? Meski gak pake jilbab, sama gak dapet mataharinya kan? Alih-alih (apa sih kata lain dari “alih-alih”) susu untuk wanita berjilbab, kenapa si produsen gak mengusung konsep susu tinggi vitamin D bagi orang yang gak pernah kesinaran matahari?

Ah, whatever deh. Yang jelas, aku tertarik beli susu aneh ini. Selain karena pake jilbab, sehari-harinya emang bisa dibilang aku jarang terpapar sinar matahari. Aku gak berharap banyak dari minum susu ini, apalagi ngarep kecerdasan spiritualku meningkat. Eh, tapi siapa tahu? :P

Sunday, November 04, 2007

Lelaki Tua di Dalam Angkot

Di angkot yang kutumpangi hari ini, ada obrolan menarik antara seorang lelaki tua (aku yakin dia udah kepala lima) dan (kuduga) rekan sekantornya. Awalnya aku gak berniat nguping pembicaraan mereka. Tapi, gimana gak denger secara aku duduk persis di sebelah si bapak.

Siapa mengira, di balik tubuh tua tetapi masih tampak sehat itu tersembunyi sebuah penyakit serius. Dari obrolan mereka, aku tahu si bapak menderita penyakit gagal ginjal. Penyakit yang menurut dia berawal dari hipertensi.

Seminggu tiga kali bapak itu harus cuci darah dengan biaya Rp 1,5 juta. Jadi, sebulan dia harus merogoh kocek Rp 15 juta. Jumlah yang tidak sedikit. Beruntung, 60 persen dari biaya pengobatan ditanggung kantor istrinya, salah satu BUMN besar di negeri ini (emang ada ya BUMN yang gak besar?).

“Berapa lama Bapak sudah menjalani terapi?” tanya sang rekan.
“Sepuluh tahun. Ya, Alhamdulillah,” jawab si bapak sambil tersenyum.

Tidak ada nada keluhan dan pesimistis dalam setiap kata-katanya. Padahal, perjuangannya pasti berat sekali. Di tengah sakit yang tak bisa dianggap remeh itu, dia bahkan masih sangat bersyukur atas nikmat hidupnya sampai saat ini. Mendadak mataku memanas (gak sampe nangis lhoo..).

Tak terasa angkot sudah sampe di Jalan Banda. Aku segera turun. Tak lupa kupanjatkan sepotong doa semoga bapak itu dilapangkan jalannya menuju kesembuhan. Amin.

Bandung yang gerimis, Selasa, 6 November 2007