Tuesday, May 25, 2010

Angkringan: Arti Sebuah Nama

Beberapa waktu lalu, di deket mulut gang menuju kosku ada tempat makan baru, judulnya Saung Rambutan. Sebenernya kurang tepat disebut saung mengingat wujudnya cuma meja dan kursi yang ditata di halaman rumah di mana ada pohon rambutannya. Padahal, mengacu ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, saung itu semacam rumah kecil di sawah ato kebun. Biar gak terlihat KBBI minded, liat sini juga deh untuk deskripsi dan gambarnya. Ehm, tapi ya sudahlah, lupakan soal ketidaktepatan itu.

Menu yang disajikan menurutku juga nggak terlalu istimewa. Hanya nasi goreng, mi rebus, roti bakar, dan teman-temannya. Yang cukup menakjubkan adalah fasilitas free hotspot bagi pengunjung. Jadi, bisa makan sambil internetan gitu deh. Setahuku, di kompleks kosanku, saung ini pelopor tempat makan sekelas warung yang dilengkapi free hotspot.

Aku perhatiin dari hari ke hari, pengunjungnya gak terlalu rame. Selalu ada orang, tapi ya bisa diitung dengan jari sebelah tangan. Lama-kelamaan, tuh saung kadang buka kadang enggak. Dan sepanjang saung itu buka, yang keknya gak sampe setahun, belum pernah sekalipun aku nyobain. Dulu sempet mau makan di situ, tapi makanannya udah pada abis. Padahal belum jam 23.00.


Nah, beberapa hari yang lalu, saung itu berganti label jadi Angkringan Da***t* (nama cewek). Di spanduknya tertulis menu yang disajikan: ayam goreng/bakar, ikan goreng/bakar, bubur ayam, dan sate jerohan. Jenis minumannya gak ditulis detail.

Sebagai orang dari DI Yogyakarta, di mana tradisi angkringan sangat kental, lagi-lagi aku ngerasa penamaan itu kurang tepat kalo dikaitkan dengan ciri-ciri angkringan ala Jogja. Dari segi penampakan, jelas enggak tampak seperti angkringan. Hanya ada etalase kaca biasa, meja-kursi yang gak berubah posisi sejak namanya masih saung, tetep di halaman rumah yang sama, lengkap dengan pohon rambutannya.

Sementara sajiannya, ayam goreng/bakar, ikan goreng/bakar, dan bubur ayam??? Sangat tidak angkringan gaya Jogja. Secara angkringan yang kukenal tuh biasanya berbentuk gerobak dorong yang mangkal di pinggir jalan. Penerangan remang-remang. Trus pengunjung cukup duduk di kursi panjang dengan meja si gerobak ituh. Ada juga yang modelnya seperti pikulan.... Jadi makanannya ditaruh di situ. Tapi, tetep pengunjung duduk di kursi panjang, kalo gak ya lesehan di tiker. Ciri khas laen, ceret buat masak air yang selalu setia nangkring.

Menu utamanya nasi kucing, nasi bungkus porsi seuprit dengan lauk oseng-oseng tempe atau sambel teri. Menu pendampingnya banyak, mulai dari gorengan, baceman, sampe sate telur puyuh. Ada jadah bakar juga. Minumannya, mo panas ato dingin, semua ada. Kopi joss (kopi yang dibubuhi arang panas), teh panas, wedang jahe, es teh, es jeruk, es tape.... Sluuurrppp. Jadi kangen Jogja niiihh..


Balik ke angkringan di deket kosanku, yang aku heran, sejak ganti nama jadi angkringan, tempat itu jadi lebih rame. Beberapa malem ini aku lewat, yang nangkring di situ ada kali delapan orang, masing-masing asyik dengan laptopnya. Ramenya dari mana ya? Apa hoki dari nama baru? Ato makanannya enak? Ato manajemennya baru, yang bisa ngerahin temen-temennya untuk dateng? Tau ah.... Kurasa para pengunjung itu gak peduli tempatnya mo dinamain apa, hehe...

Foto atas: angkringan di Jalan C Simanjuntak, Terban, Yogyakarta, jaman aku kuliah :)
Foto bawah: deretan angkringan di utara Stasiun Tugu, Yogyakarta, Mei 2010. sebenernya yang terkenal di sini angkringan Lek Man. tapi gak ada Lek Man, Lek No pun jadi..haha

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home